Siap melompat dari tumpangan kapal karam

Maret 13, 2024 - Leave a Response

Orang akan menjaga nyawanya.
Orang yang menumpang kapal yang akan tenggelam akan memiliki keberanian entah darimana datangnya untuk lompat ke laut. Chance to survive lebih besar daripada ikut tenggelam bersama kapal. Di samping efek kepanikan kala maut mengancam.
Kapten merasa lebih memiliki kapal daripada orang yang cuma numpang sementara saja.
Maka kapten rela tenggelam bersama kapal, karena merasa bertanggungjawab terhadap nyawa penumpang seluruh kapal.

First love will always be once

Juli 17, 2021 - Leave a Response

“Ingat saat pertama kali kita ketemu?”
Sepasang kekasih duduk santai berhadapan di sebuah kafe.

“Perasaan deg-degan, perasaan pertama kali jatuh cinta itu, aku ingin merasakannya lagi.”

Cowok berambut pendek itu mendengarkan pacarnya sambil lalu, membaca majalah otomotif di pangkuannya.

“Aku ingin merasakannya sekali lagi!” kata cewek itu dengan nada agak keras.

Kini cowok itu mengangkat majalah menutupi mukanya, mencoba mengacuhkan.

“Denger nggak sih, aku ingin merasakannya lagi!” kata Ney mengganggu Ron yang matanya sayu males, lalu dia taruh majalah yang dipegangnya.

“Iya, iya, aku denger. Terus, maksudmu gimana?” Sang cowok dengan agak kesal dan ogah-ogahan menanggapi ceweknya.

“Tau nggak, saat pertama kita baru saling kenal, dalam hatiku aku merasakan perasaan … bahagia, tidak menentu… seperti melayang-layang”

Ron melihat ceweknya dengan malas.

“Aku suka kamu,” sang cewek tiba-tiba berkata sambil setengah melompat dari kursinya.

“Apa sih? Terus maumu apa? Dari tadi tiba-tiba ngomong tentang pertama kali, merasakan sekali lagi…”

“Aku suka sama kamu. Tapi perasaan jatuh cinta untuk pertama kali ke kamu cuma bisa dirasakan sekali dalam seumur hidup, iya kan? Makanya aku ingin kembali ke waktu kita pertama kali bertemu, aku ingin merasakan perasaan itu lagi.”

Ron mencoba empati ke kekasihnya itu. Tapi akal logis lelaki nggak bisa nyambung sama omongan Ney yang lagi melankolis.

“Tapi nggak mungkin kan?”

Ney yang tadinya antusias mendadak berubah murung. Ron memperhatikannya, lalu menghela nafas panjang.

“Jadi, kamu mau cari mesin waktu?”
Ney itu menggeleng.

“Mau cari cowok lagi?”
Ney menggeleng lagi. Ron kini lebih memberi perhatian pada Ney.

“Kamu mau merasakan perasaan saat kita pertama bertemu?” Kini si cewek mengangguk.

“Nggak mungkin kan,” sang cowok merebahkan punggungnya menyerah dengan kemauan Ney.

“Tapi kamu paham kan apa yang aku maksud? Saat suatu perasaan hanya bisa dirasakan sekali saja, saat memikirkan perasaan itu kita ingin kembali menjalaninya. Seperti waktu liat film. Saat seru-serunya si pahlawan super mengalahkan musuhnya, saat kasus di sebuah film misteri akhirnya terkuak setelah sekian lama. Kita jadi ingin mengulang momen itu.”

Ron menyimak.

“Beda saat kamu memutar ulang untuk kedua kalinya film itu lagi, meskipun kamu lihat adegan yang sama, apa yang kamu rasakan sudah beda. Kamu sudah tau sebelumnya. Beda sama kalo pas awal pertama lihatnya, sensasi baru pertama kali tahu, baru pertama kali terkejut, terkagum,… pertama kali jatuh cinta.”

Kini Ney memangku dagunya dengan kedua tangannya.

“Saat teringat momen-momen itu, kita jadi kangen dengan perasaan yang timbul di dalam dada saat itu. Seperti diaduk-aduk pake stik berwarna-warni. Jantungku seperti terbang, punya sayap, waktu aku pertama kali bertemu sama kamu.”

Pandangan Ney kosong mengingat memorinya.

“Entah kenapa diantara teman-teman Fino yang dia ajak ikut ke puncak, cuma kamu yang menarik perhatianku sejak mata kita saling bertemu.”

Ron mendengarkan, mengamati wajah Ney yang kini memperhatkan wajah Ron yang sudah agak berbeda dengan saat mereka bertemu pertama kali.

“Waktu itu kumismu tidak setebal ini,” kata Ney. Ron tersenyum.

Sejak itu ketertarikan Ney pada Ron membuat Ron tak sengaja melemahkan pertahanan hatinya pada kaum hawa. Hati Ron tidak sengaja terbuka pada topik romansa yang sebelumnya tidak ada dalam kamus petualangan pria sejatinya, my trip my adventure.

“Kalau saja aku jadi nggak ikut hari itu, mungkin kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama aku,” Kata Ron.

“Mungkin saja,” Ney melepaskan tangan dari dagunya, lalu melipatnya di atas meja.

Tak ingin ego Ron merasa menang, Ney membalasnya, “tapi siapa coba yang tengah malam rela belain kehujanan cuma buat minta maaf ke pacarnya yang lagi ngambek hanya gara-gara yang cowok ninggalin ceweknya nonton film yang sudah dia tunggu-tungguin di bioskop, padahal sudah bilang kalo mau nonton bareng.”

Ron mendadak rusak suasana hatinya diingatkan pengalaman paling kecut, remaja labil.

Tujuh tahun menjalin hubungan, pasang surut menghiasi perjalanan asmara mereka berdua. Tidak ada halangan yang berarti untuk sampai mengkandaskan apa yang sudah berjalan beserta bumbu-bumbu manis dan pahitnya.

Tapi sekarang terasa hambar. Tidak seperti awal saling mencoba mengenal karakter masing-masing, masih mencoba meraba bagaimana menempatkan diri terhadap pasangannya. Menerka apa yang ada di pikiran pasangannya, hari-hari begitu sibuk menguras tenaga.

Sekarang, yang kebiasaan pasangannya sudah hapal di luar kepala, malah jadinya tidak ada gairah, tidak ada amplitudonya, naik turunnya. Flat. Jalan gitu aja tanpa kedinamisan romantisme. Ney ungkapkan apa yang ada di hatinya.

Wake up, me!

Februari 25, 2020 - Leave a Response

Melihat pada cermin, bertanya pada diri sendiri, orang seperti apakah diriku ini, diri yang tidak kuperlihatkan pada orang lain

Sejak kecil dulu, tak ada yang mengkhawatirkanku, hidup seperti biasa, namun begitu untuk bernapas saja sekarang terasa menyakitkan

Tidak mempunyai sesuatu yang ingin dilakukan, sesuatu yang spesial ingin dimilikipun juga tidak punya, hampa diri ini…

Sekarang juga, ucapkan selamat pagi! Cepat bangun atau semua akan sia-sia!
Buka kedua mata, ambil kembali semua waktu tidur yang terbuang!
Pikirkan sekarang juga langkah ke depan, tidak ada pilihan lain!
Oh, Wake Up! Wake Up! Wake Up Myself! Just in time, just in time, buka mata!

Nasionalisme harga mati

Oktober 14, 2016 - Leave a Response

nasionalisme sudah mulai hilang di generasi kita
nasionalisme adalah rasa cinta kepada negeri
generasi pertama negeri ini sudah cukup berusaha dalam menularkan cinta itu
…tapi cinta tidak dapat dipaksakan
jika kamu tanyakan kepada anak-anak apa yang lebih mereka suka, maka jawabnya adalah luar negeri
apa yang lebih bergengsi, luar negri. apa yang lebih familiar, luar negri.
ingin jadi warga negara mana, luar negri
sudah mulai tidak bisa muncul ke permukaan apa yang bisa dicintai dari negeri ini
tiba-tiba menjadi bosan dalam pikiran generasi penerus jika mereka mendengar apa-apa yang berbau nasionalisme
padahal tidak berkurang juga apa yang bisa kita cintai dari negri ini, meskipun banyak hal yang kelam dari sejarah

tapi di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung
toh mungkin juga jika dulu tidak ada yang berteriak-teriak “merdeka atau mati, indonesia harga mati,” pemuda tidak tergerak,
tapi pemuda sekarang tergerak oleh hal yang lain, hal yang asing, mungkin
saya ingat dulu saat anak-anak sudah dicekoki lagu cinta rupiah
pas jaman krismon
lagu berwawasan nusantara, hoooo, Indonesia itu keren ya,
lagu wajib nasional… nggak ada yang baru ya…? tanah airku Indoneeesiaaa~
anak-anak suka sama yang ada nadanya, pembelajaran yang menyenangkan
apalagi pake irama lagu odong-odong… kampuang nan jauh dimato~

kenapa kita bisa menggoblok-goblokkan orang sendiri
karena kita bisa menghina apa yang tidak kita cintai
kita tidak bisa menghina apa yang kita cintai, bahkan kita akan marah jika yang kita cintai dihina
dimana letak cintamu?

Kebaikan itu palsu

Mei 10, 2016 - Leave a Response

Aku benci cewek perhatian.

Selalu saja mengganggu pikiranku dengan sikapnya.

Apa yang mereka perbuat kepadaku selalu membuatku tertarik kepada mereka dengan kebaikannya. Saat diriku sendirian karena memang tidak ada yang akrab denganku, mereka akan datang dengan santainya dalam hari-hariku. Merekalah yang memulai pembicaraan denganku, seakan mereka tahu ada seseorang yang sedang berharap untuk diraih tangannya di sini. Jika mereka sms atau telepon, aku akan melihat huruf-huruf yang dia kirim dan mendengar suaranya dengan senyum-senyum sendiri yang pasti aneh di wajahku.

Tapi akhirnya aku tahu, cewek perhatian itu hanyalah perhatian.

Jika mereka perhatian kepadaku pasti mereka perhatian kepada yang lain juga.

Aku selalu menjadi salah paham, kemudian sadar diri, hingga pada titik di mana aku berhenti terlalu berharap. Pada akhirnya perasaan itu akan menjadi hal yang terlupakan ditemani kekecewaan pada diri sendiri atas ekspektasi yang terlalu sempurna untuk terwujud.

Mulai saat itu aku tidak akan meninggikan ekspektasiku lagi. Pejuang sejati tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Jika kenyataan itu pahit, maka kebaikan itu palsu.

– yahari ore no seishun love comedy wa machigatteiru ep 5

No Space Between

April 8, 2016 - Leave a Response

Ini kisah antara seorang cowok dan seorang cewek. Anggap saja satunya A dan satunya B. A bisa jadi cewek bisa jadi cowok, begitu juga B bisa cewek bisa cowok. Tapi kalau A cewek, B pasti cowok, bukan cewek. Begitu juga kalau A cowok, B pasti cewek, bukan cowok.

Setelah sekian lama mereka berdua bisa begitu dekat, sampai seakan tidak terasa ada jarak diantara mereka berdua. Lama-kelamaan setelah mereka berdua sudah terbiasa dengan kedekatan itu mulai timbul rasa yang lain, akan terjadi secara alami.

Kesalahannya di sini adalah salah satu pihak dalam suatu sesi kencan atau bahkan setiap saat menyatakan kira-kira seperti ini, “Walau apapun yang akan terjadi, aku akan tetap mencintaimu. Aku akan setia kepadamu” Dia mengekspresikan totalitas dan devotion, pengabdian diri sepenuhnya, keyakinan teguh dan janji suci, kepastian kepada pasangannya.

Nah ini yang nggak diketahui banyak pasangan. Tidak ada yang bisa menjamin masa depan, begitu juga dengan sepasang kekasih. Beberapa tipe lawan pasangan bisa menjadi kehilangan sensasi, sensasi ketidakpastian yang membuat suatu hubungan menarik, bikin penasaran, dengan dinamika naik turunnya sebagai bumbu.

Beberapa tipe lawan pasangan dapat menjadi kehilangan ketidakpastian.

Beberapa tipe lawan pasangan akan menjadi bosan dan nggak lagi punya rasa ketidakpastian.

Nah kalo udah gitu,,,,virv

(Jadi sering tengkar, cemburu berlebihan, rasa bosan pada pasangan, nggak seromantis yang dulu, sikapnya berubah terhadap pasangan, keinginan untuk mencari yang kedua, …)

Memang komitmen untuk setia kepada pasangan perlu, beberapa orang membutuhkan kepastian, kejelasan status, rasa aman atas perasaannya sendiri. Namun kata orang, cinta itu perlu bumbu, seperti sayur. Rasa garam sendiri tidak akan bisa dinikmati berapapun jumlahnya, asin. Gula berlebihan juga tidak bagus untuk kesehatan jangka panjang.

Komitmen untuk setia itu perlu, tapi setia butuh warna agar tidak pudar

 

Grow apart and grow up

Maret 2, 2016 - Leave a Response

I am sorry for being selfish
In order to change we must part ways
It is me who need to change.

Entah harus ke mana

November 24, 2015 - Leave a Response

Kenapa harus kamu bela-belain datang jauh-jauh ke Jakarta hanya buat ngomong langsung ke dia padahal sekarang jaman sudah canggih, pake telepon aja kenapa? Mungkin itu yang akan orang bilang padaku kalau mereka tau aku yang sekarang sedang naik kereta jurusan Surabaya-Jakarta dengan jarak 800 km dengan waktu tempuh sekitar 14 jam perjalanan hanya punya sedikit alasan yang nggak sebegitu dalam buat ketemu sama dia yang dulu pernah dekat sekali denganku. Masa dari saat malu-malu hingga seperti keluarga sendiri yang telah kita jalani, terhenti bak kereta yang kehabisan rel. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku yang biasanya ogah-ogahan hanya buat keluar sama teman waktu malam minggu sekonyong-konyong punya tenaga untuk pergi jauh, sendiri dan tanpa perencanaan. Kupikir-pikir lagi sekarang aku menyesal jarang melakukannya, karena empat tahun sendiri tanpa teman, di saat mereka sudah sibuk dengan kerjaan mereka masing-masing, aku masih berkutat di kampus tanpa teman sebaya yang mau mengajakku main setiap akhir pekan seperti dulu.
Aku meneleponnya, kubilang padanya kalau aku sedang berada dalam perjalanan menuju Jakarta hanya untuk bertemu dengannya, dan dia harus menyediakan waktu sesedikit apapun untuk bertemu denganku. Aku dengan agak memaksa dan seenaknya sendiri entah mendapat keyakinan penuh dari mana bahwa dia akan memenuhi permintaan egoisku ini, entah karena aku sudah hafal dengan wataknya yang perhatian dan akan selalu mengalah terhadap siapapun, atau karena kebodohanku yang terlalu. Entahlah, aku sudah hampir frustasi dengan hidupku dan tidak ada siapapun lagi di dunia ini yang bisa aku anggap dekat, atau pernah dekat denganku sedekat aku dengannya.
Kami janjian di sebuah rumah makan franchise di daerah Kemayoran, aku menunggu sangat lama karena jam tiba keretaku jauh terlalu pagi dari jam janjian. Meski tubuhku sangat lelah dari perjalanan jauh, pikiranku tidak bisa beristirahat. Terlalu penuh dengan hal yang mungkin bisa terjadi dengan hari ini. Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya dia tiba dengan mengenakan gaya pakaian yang belum pernah aku lihat sebelumnya, wajahnya juga sedikit berubah dari yang terakhir aku ingat. Lebih matang, lebih dewasa, mandiri. Tidak seperti dulu yang bisa manja kepadaku. Sepertinya tidak akan bisa seperti itu lagi dengan warna merah lipstik yang menempel di bibir tebalnya dan hak tinggi lengkap dengan setelan ala pekerja kantor elit ibukota.
Aku menyapanya dari jauh, senyum tipis di wajahnya seperti mengisyaratkan perasaannya yang sedang tak ingin mengulang masa lalu saat melihat wajahku, tapi dia tutupi dengan obrolan basa-basi khas teman lama yang sudah lama tak bertemu.
Setelah obrolan singkat yang membosankan, aku langsung mengantarnya ke topik yang membawaku jauh-jauh ke sini.
“Dengar, aku tau kita tidak punya banyak waktu untuk melepas…” aku berhenti sejenak, “untuk membahas hal lain, yang sejujurnya, aku bisa bicara via telepon…”
“Ada apa memangnya, sepenting apa sih? Aku akan dengan senang hati mendengarkanmu kapan saja selama aku ada waktu untuk mendengarmu, kenapa harus repot-repot datang ke sini?”
“Aku juga tidak tahu,” jawabku. “Aku sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Aku tau kita cuma punya waktu satu setengah jam untuk bertemu di hari ini, sebelumnya maafkan aku karena tidak memberitahumu jauh-jauh hari sebelumnya. Aku tau ini mendadak. Aku tak tau lagi apa yang harus aku lakukan dengan hidupku.” Suasana restoran yang sepi terlalu pagi untuk hiruk pikuk pelanggan menggemakan suara kendaraan yang ada di jalan.
“Apa yang telah terjadi denganmu?” Dia mulai kebingungan, seperti menerka-nerka hal buruk yang mungkin terjadi, dahinya mengerut.
Warna mukanya sekarang seperti antara khawatir dan prihatin.
Sebelum mulutku melanjutkan berbicara, sepertinya semua kenangan, memori, dan perasaan masa lalu sekilas seenankya bergejolak di dalam kepalaku setelah sekian lama tak bertemu dengannya. Dia yang sekarang berada di depanku seperti orang asing, orang asing yang dulu pernah aku kenal betul. Mendadak aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Mulutku terbuka tapi tidak keluar satu kata pun.
“Kenapa? Ada apa?” Dia mencondongkan badannya ke depan lewat atas meja memperhatikanku lebih dalam. Aku melihat wajahnya, seakan aku kenal dengannya, seakan tidak.
“Siapa aku ini sebenarnya?” Dia bingung dengan pertanyaanku, tubuhnya tak bergerak sama sekali.
“Maksudnya?” Dia balas bertanya.
Seolah beribu hal yang ingin aku sampaikan padanya mendadak melebur menjadi satu pertanyaan itu. Aku sendiri juga tidak tahu maksudnya, yang sudah jenuh dengan hidup yang begitu-begitu saja, yang kembali menjadi orang tanpa impian sebelum bertemu dengannya, yang tidak bisa tersenyum kembali seperti dulu saat bersamanya, yang mempunyai banyak sekali hal menarik untuk dipikirkan dan dibicarakan berdua, yang melakukan hal-hal baru setiap harinya, mencoba sesuatu yang baru, menikmati hidup. Bukan karena semua temanku meninggalkanku, atau karena kesulitan keuangan yang aku hadapi berbulan-bulan, atau bencana demi bencana seolah menimpaku bertubi-tubi, tetapi aku pernah mempunyai sesuatu, sesuatu yang sangat berharg dan aku merasa kehilangan. Aku pernah mendapat sesuatu darinya, dan tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Tanpa sadar air mata menetes.

Dia sepertinya kebingungan harus melakukan apa, tidak seperti dulu yang pasti dia akan memegang pundakku jika dalam keadaan seperti ini. Setengah malu dan menyembunyikan wajahku, aku menghela nafas dalam, mencoba menjernihkan lagi pikiranku.
“Maaf ya”
“Tidak, coba tenang dahulu. Pelan-pelan coba ceritakan apa yang ingin kamu sampaikan kepadaku,” dia menyodorkan minuman, aku menerimanya tanpa berencana untuk meminumnya.
Dia melihat sekeliling, seakan malu jika ada yang menyaksikan pemandangan ini.
“Tidak akan ada yang memperhatikan. Kalaupun toh ada, aku akan bilang kalau aku telah ditolak oleh mantanku,” lelucon garing tidak menggerakkannya sedikitpun.
Dua puluh menit berlalu dengan diam sembari dia menungguku untuk tenang, sementara gejolak masih berkecamuk di dalam otakku, kerinduanku terobati sekaligus tidak terobati akibat bertemu lagi dengannya. Dia masih terasa jauh walau berada di depanku. Perasaannya tak bisa menyentuh membelaiku. Kecanggungan kembali terasa.
“Dengar, sebentar lagi aku harus pergi. Kalau tidak, aku akan berurusan dengan pimpinanku. Jika kamu tidak keberatan, aku akan mendengarmu lewat telepon kapanpun kamu mau. Maaf aku tidak bisa menemanimu lagi untuk hari ini. Eeeh, bagaimana kalau hari Sabtu kita bertemu lagi, kamu bisa menginap di sini untuk dua tiga hari?”
“Aku tidak punya uang untuk itu, lagipula aku sudah memesan tiket untuk kembali nanti sore, oh iya, selamat atas pertunanganmu .”
“Serius? Begitu saja? Lalu untuk apa dua jam ini kamu hanya diam tak bicara apapun, hanya untuk ini,” dia tak habis pikir.
“Maafkan aku, selalu saja begini. Yang tidak bisa mengungkapkan isi hati dengan jelas, tidak bisa membuat keputusan, selalu ragu,” dia membuka tasnya, mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
“Ini untuk kamu, menginaplah di Jakarta, setibanya aku dari Singapura Sabtu depan, kita bisa bertemu lagi.”
“Ah, bukan. Tidak, tidak, tidak. Aku datang bukan untuk itu..”
“Lalu untuk apa?”
“Aku hanya ingin bertemu…”
Matanya berputar mengenang hal yang sama yang dulu sering terjadi padanya. Dengan agak malas, dia berkata, “ya sudah, ceritakan inti permasalahanmu. Aku akan coba membantumu sebisaku.”
Seolah tersadar, aku datang seolah untuk meminta bantuan padanya. Padahal aku tidak mau dianggap mencari iba. Aku hanya

Untuk para pemberi cinta, inspired by Emily Is Away

Badai di tengah malam

Maret 19, 2015 - Leave a Response

Angin yang tiba-tiba bergerak sangat kencang dari arah selatan di tengah malam itu membuat suara ribut, membisingkan telinga orang-orang yang sedang tidur terlelap. Suara tiupan angin merambat dari jauh, membuat daun pepohonan yang tertiup angin ganas itu mengeluarkan suara mengerikan di dalam gelap malam. Suara gemuruh halilintar mengikuti kemudian, sangat dekat dan keras hingga membuat tanah bergetar. Semua orang terkejut, terbangun. Dentuman demi dentuman suara halilintar yang menggetarkan berlanjut, kilatan cahaya halilintar di gelap malam menampakkan gelapnya langit tertimpa cahaya sepersekian detik berulang-ulang membuat seram orang yang berada di naungannya. Aku terbangun, melihat fenomena alam ini dengan takjub. Tak dapat kiranya aku melanjutkan tidurku dengan dentuman yang terasa menggetarkan hingga isi perutku. Beberapa pohon berumur puluhan tahun sebesar gedung bertingkat tiga tumbang bersamaan. Kayu, daun, dan semua yang ditemui angin ganas itu terbawa terbang.
Rintik kecil hujan kemudian mulai turun ke tanah dengan kecepatan brutal, disusul dengan butir-butir air yang lebih besar. Seakan daratan ini diterjang sesuatu secara nyaris horizontal dari arah langit. Berada dalam keadaan seperti itu tanpa perlindungan, pasti aku akan merasakan kesengsaraan.

Nosaku : Hujan (1)

Agustus 19, 2014 - Leave a Response

“Fin, mau kemana?” Cindy buru-buru memanggilku dari ujung tangga.

“Mau beli sabun,” jawabku dari anak tangga paling bawah.

“Tolong sekalian beliin obat diare ya buat Lisa. Dia lagi sakit perut, aku udah tanya tante katanya dia nggak ada obat juga, ya, kasihan dia.”

“Oh, iya, iya. Ntar kubelikan.”

“Makasih, buruan ya.”

Meskipun di luar langit malam gelap, namun awan berat menggumpal terlihat menutupi sinar bulan. Kilatan-kilatan cahaya dari balik awan sesekali muncul. Udara dingin menusuk kulit di balik kemejaku.

“Eh, tunggu Fin,” terdengar suara Tita berlari keluar menghampiriku di luar pagar.

“Tolong dong sekalian titip fotokopi kertas ini,” wajahnya memaparkan senyum khasnya. Dia menyerahkan beberapa lembar kertas padaku.

“Semuanya satu kali aja ya, makasih fin.”

Kemudian aku berjalan keluar di malam berangin ini untuk beli sabun, obat, dan memfotokopi.

Setelah selesai kulakukan semua, saat perjalanan pulang mulailah turun hujan. Air mulai membasahi jalan disertai gemuruh halilintar. Aku berlari mencari tempat berteduh sambil melindungi kertas fotokopi titipan Tita dengan tubuhku.

Aku berteduh di depan sebuah rumah. Kulihat kertas fotokopi Tita terpercik air sedikit, aku bersihkan dengan lengan bajuku. Kenapa tidak diberi plastik sih. Hujan langsung turun sangat deras mengguyur. Obat ini harus cepat aku berikan pada Lisa, kasihan pasti dia sedang menungguku. Tapi hujan gini, gimana dengan kertas fotokopi ini? Kalau aku terobos hujan ini meskipun aku masukkan ke dalam celanaku akan tetap basah. Hujan mulai sangat deras seperti air yang ditumpahkan dari ember dan nampak sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Aku merasakan kehadiran seseorang dari dalam rumah yang aku pakai berteduh. Seorang perempuan keluar dengan membawa segerombol kunci di tangannya. Dia memakai piyama berwarna pink lembut, dia menyadari keberadaanku di depan rumahnya yang sedang berteduh. Dia menghentikan langkahnya, sedikit terkejut. Lalu ekspresi wajahnya berubah dalam sedetik.

“Kehujanan ya?”

“Iya, saya numpang ngiyup di sini boleh ya.”

“Jangan,” jawabannya mengejutkanku. Aku hendak menjelaskan tapi dia langsung menambahkan, “masuk aja ke dalem.”

Sebenarnya aku mau menolak, tapi daripada berdiri sampai hujan reda yang nggak tau pasti kapan datangnya, aku menerima tawarannya, walaupun aku tau ini sudah sekitar jam 9. Dia membukakan pagar, aku masuk lalu dia mengunci pagarnya.

Aku duduk di sofa ruang tamu yang hangat. Tak lama kemudian dia datang membawa handuk kering. Aku mengucapkan terima kasih. Meskipun tidak terlalu basah kehujanan aku mengelap rambutku seadanya. Setelah beberapa hening berdua saja di ruang tamu aku membuka pembicaraan.

“Kok sepi di rumah, pada kemana?” aku memulai basa-basi.

“Mama papa lagi keluar kota, aku sendirian di rumah untuk dua hari ini.”

Pantas saja dia tadi mau mengunci pagar, tapi mengapa dia tetap menguncinya meskipun ada aku di dalam.

“Nggak apa-apa di rumah sendirian?”

“Nggak apa-apa, kan sekarang udah nggak sendiri.”

Berada serumah hanya berdua dengan perempuan membuatku merasa tidak nyaman.

“Oh iya, ada payung yang bisa dipinjam nggak? Aku keburu2 soalnya. Ntar aku kembalikan lagi.”

Dia terdiam sejenak, kemudian berkata dengan ragu, “Ng, kayaknya nggak ada deh.”

Dia terus memandangiku seakan mempertimbangkan sesuatu.

“Udah tunggu aja sampai hujannya reda.”

“Waduh, bukan gitu. Hujannya kayaknya bakal lama.”

“Iya ya.”

Aku melihat keluar jendela, hujan tidak menunjukkan tanda akan berhenti, bahkan semakin deras.

“Oiya, baju kamu pasti basah. Aku ambilkan ganti dulu ya.”

“Nggak, nggak usah. Baju saya nggak terlalu basah kok.”

“Udah, ntar masuk angin lo.”

Dia menghilang ke dalam. Padahal bajuku tidak terlalu basah. Beberapa saat kemudian dia datang membawa lipatan pakaian.

“Ini ganti dulu, biar nggak kedinginan.”

“Nggak usah, nggak usah repot-repot.”

Meskipun aku berkali-kali menolak, tapi dia tetap memaksa. Akhirnya aku menyerah.

aku mengambil lipatan kain dari tangannya, setelah itu dia hanya berdiri diam. Seharusnya sekarang adalah saat dimana dia mengantarku untuk berganti pakaian.

“Emm, dimana saya bisa ganti?”

Dia melihat sekeliling dan berkata, “ya disini juga boleh,” tanpa nada bersalah.

Yang benar saja, menelanjangi diriku sendiri di depan seorang perempuan tidak akan kulakukan kecuali dia mengancam untuk membunuhku.

Aku berusaha bersikap sopan dan berkata, “Maaf, bisa di ruangan yang lebih pribadi, yang tertutup gitu.”

“Oh, silakan. Ikuti aku!” Dia mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Aku mengikutinya hingga ke sebuah kamar yang sangat bernuansa perempuan.

Dia masuk ke kamar menyusulku dan menutup pintunya. “Kamu boleh ganti di sini,” dia membalikkan badannya ke arahku dan diam berdiri. Dia tidak meninggalkan kamar, mungkinkah dia ingin melihat aku menelanjangi diriku sendiri.

“Dan kamu ngapain di sini?”

Dia mengangkat alis.

“Ini kamarku, ya terserah aku dong mau ngapain.”

“Tapi,” aku mencoba untuk mengendalikan diri, “bisakah kamu menunggu di luar selagi aku ganti pakaian?”

“Aku disini, mengawasimu supaya kamu nggak berbuat yang aneh2.”

Disini yang berbuat aneh2 itu kamu. Dia menyilangkan lengannya dan mata tajamnya terus mengawasiku. Rambutnya yang panjang bergelombang sangat tenang tak tertiup angin apapun. Suara hujan deras di luar masih terdengar.

“Dengar ya mbak…”

“Selly”

“Mbak Selly, saya sangat menghargai bantuan mbak mau kasih saya tempat berteduh, tapi saya nggak mengharapkan sesuatu di luar kewajaran sejauh pikiran saya bisa menerima hal yang saya anggap wajar. Tapi ini…”

“Sssssstt,” ucapanku dipotong oleh Selly. Dia perlahan mendekat kepadaku. Matanya tak berkedip menatap padaku selagi dia mendekat. Saat kami semakin dekat, dan semakin dekat, dan saat dia dan aku sudah cukup dekat, tiba-tiba dia mencubit kedua pipiku dengan kedua tangannya. Bibirku jadi melar karenanya.

“Aku cuma bercanda koooook.” Selly melepaskan cubitannya dengan gemas. Pipiku sakit, aku mengusap-usapnya. “Aku cuma senang aku ada teman, sejak dari tadi aku ketakutan di sini seorang diri. Apalagi hujannya deras, aku paling takut sama petir.”

Aku masih sangsi dengan perkataannya, tapi beberapa saat setelah itu terdengar bunyi halilintar mengejutkan yang sangat keras *GLARRRR* disusul suara teriakan Selly. Secara refleks dia sudah menempel padaku. Matanya terpejam ketakutan. Setelah gaungan halilintar sudah tidak terdengar lagi, baru Selly membuka matanya. Tangannya mencengkram keras baju di bagian dadaku, mukanya memerah.

“Ee, ah, iya, ternyata bajumu tidak terlalu basah.”

Kami menghabiskan menit berikutnya duduk di ruang tamu lagi. Kami bercakap-cakap biasa, ternyata dia juga sebaya dengan teman-teman di rumah Tante Angelica, begitu juga aku. Kami berbincang lama sekali hingga jam menunjukkan angka sebelas. Kami berkali-kali menguap, tapi hujan belum juga berhenti.

Selly terlihat sangat mengantuk. Dia menawarkan aku untuk tidur di rumahnya hingga esok pagi tapi keadaan ini dilematis sekali.

a. memilih untuk menitipkan kertas fotokopian di rumah Selly dan berlari pulang menerobos hujan

b. memilih untuk tetap menunggu hingga hujan mulai reda

c. meminjam telepon Sally untuk menelepon rumah Tante Angelica dan minta tolong dijemput seseorang dengan membawa payung

d. memilih untuk tidur di rumah Sally